Mumpung Murah, Saatnya Indonesia Beli Saham Freeport
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menegaskan saat ini harga selembar saham sedang murah. Kesempatan ini tak boleh disia-siakan pemerintah untuk membeli saham PT Freeport Indonesia.
"Sekarang harganya US$ 7,84 per share. Bulan lalu diperkirakan 10 persen sekitar US$ 2 miliar. Kita mau apapun risikonya kuasai saham dan sekarang saatnya dapatkan dengan harga murah," tegas Marwan dalam diskusi bertajuk Dramaturgi Freeport, di Jakarta, Sabtu (5/12/2015).
Marwan menuturkan lebih baik dilakukan nasionalisasi, bukan dengan melepas saham Freeport ke Initial Public Offering (IPO). Bila hal tersebut diterapkan malah merugikan Indonesia karena tidak punya kuasa atas kekayaan alam di Papua.
"Karena itu saya kira pemerintah yang penting itu komitmen membeli, bukan IPO. Pak SS (Menteri ESDM Sudirman Said-red) dan Said Didu seperti mempersilakan IPO, kapan kita bisa kelola. Jangan-jangan sama dengan masa lalu," tutur dia.
"Dari sekarang cari jalan untuk danai pembelian saham itu. Lagi turun harganya dan buat komitmen akan diambil pemerintah, dijalankan konsorsium yang gabungan BUMN dan BUMD," tambah Marwan.
Sekadar informasi, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Freeport wajib melepas sahamnya sebesar 30 persen ke investor nasional karena diklasifikasikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah (underground mining).
Freeport hingga 2020 masih harus melepas 20,64 persen sahamnya, mengingat pemerintah sampai saat ini baru memiliki 9 persen saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Namun untuk tahap awal, Freeport hanya diwajibkan melepas 10,64 persen sahamnya pada tahun ini guna menggenapi menjadi 20 persen kepemilikan nasional. Sementara 10 persen sisanya baru masuk masa penawaran divestasi pada 2020.
Penawaran harga divestasi oleh Freeport seharusnya diserahkan ke pemerintah pada 14 Oktober lalu, untuk kemudian dievaluasi kewajaran harganya selama maksimal 90 hari. (Liputan6.com)
"Sekarang harganya US$ 7,84 per share. Bulan lalu diperkirakan 10 persen sekitar US$ 2 miliar. Kita mau apapun risikonya kuasai saham dan sekarang saatnya dapatkan dengan harga murah," tegas Marwan dalam diskusi bertajuk Dramaturgi Freeport, di Jakarta, Sabtu (5/12/2015).
Marwan menuturkan lebih baik dilakukan nasionalisasi, bukan dengan melepas saham Freeport ke Initial Public Offering (IPO). Bila hal tersebut diterapkan malah merugikan Indonesia karena tidak punya kuasa atas kekayaan alam di Papua.
"Karena itu saya kira pemerintah yang penting itu komitmen membeli, bukan IPO. Pak SS (Menteri ESDM Sudirman Said-red) dan Said Didu seperti mempersilakan IPO, kapan kita bisa kelola. Jangan-jangan sama dengan masa lalu," tutur dia.
"Dari sekarang cari jalan untuk danai pembelian saham itu. Lagi turun harganya dan buat komitmen akan diambil pemerintah, dijalankan konsorsium yang gabungan BUMN dan BUMD," tambah Marwan.
Sekadar informasi, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Freeport wajib melepas sahamnya sebesar 30 persen ke investor nasional karena diklasifikasikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah (underground mining).
Freeport hingga 2020 masih harus melepas 20,64 persen sahamnya, mengingat pemerintah sampai saat ini baru memiliki 9 persen saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Namun untuk tahap awal, Freeport hanya diwajibkan melepas 10,64 persen sahamnya pada tahun ini guna menggenapi menjadi 20 persen kepemilikan nasional. Sementara 10 persen sisanya baru masuk masa penawaran divestasi pada 2020.
Penawaran harga divestasi oleh Freeport seharusnya diserahkan ke pemerintah pada 14 Oktober lalu, untuk kemudian dievaluasi kewajaran harganya selama maksimal 90 hari. (Liputan6.com)
Post A Comment
Tidak ada komentar :